
Q-koko.site – Sabtu 03 Mei 2025
Oleh: Yoseph Heriyanto, Ketua DPP Bidang Litbang dan Inovasi Forum Membangun Desa (Formades)
Ketika Dana Desa diperkenalkan pada tahun 2015, harapan besar menyelimuti seluruh pelosok negeri. Program ini dipandang sebagai terobosan pemerintah dalam upaya memberdayakan desa, mempercepat pembangunan infrastruktur dasar, serta mengurangi ketimpangan antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Dengan anggaran awal sebesar Rp20,76 triliun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Dana Desa diharapkan mampu menjadi solusi atas berbagai permasalahan yang selama ini membelit desa-desa di Indonesia.
Dasar hukum Dana Desa tercantum dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang memberikan kewenangan lebih besar kepada desa dalam mengelola urusan pemerintahan dan pembangunan di wilayahnya. Salah satu tujuan utama kebijakan ini adalah menurunkan angka kemiskinan, membangun infrastruktur dasar, serta memberdayakan perekonomian masyarakat desa. Dana yang dialokasikan langsung ke desa memberi ruang bagi pemerintah desa untuk menyusun perencanaan dan melaksanakan pembangunan sesuai kebutuhan lokal.
Namun, hampir satu dekade berlalu, program ini menghadapi berbagai tantangan yang tak bisa diabaikan. Meski banyak desa berhasil membangun infrastruktur vital seperti jalan, jembatan, dan pasar, dampaknya masih dominan pada aspek fisik semata. Hingga tahun 2023, Dana Desa telah digunakan untuk membangun lebih dari 227.000 kilometer jalan desa, 1.900 jembatan, dan 4.000 pasar desa. Capaian ini memang patut diapresiasi, namun di sisi lain, banyak desa belum merasakan manfaat pembangunan tersebut dalam bentuk pemberdayaan ekonomi yang berkelanjutan. Minimnya program pendukung seperti pelatihan pengelolaan irigasi atau pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) menjadi persoalan tersendiri.
Tak hanya itu, program Dana Desa juga diselimuti persoalan transparansi dan akuntabilitas. Tak sedikit kepala desa yang tersandung kasus korupsi akibat menyalahgunakan dana yang semestinya digunakan untuk kepentingan masyarakat. Ketidakjelasan dalam alokasi dana dan lemahnya pengawasan dari masyarakat membuka celah terjadinya penyimpangan. Ketimpangan dalam distribusi dana juga turut menjadi sorotan. Formula alokasi berdasarkan jumlah penduduk dan luas wilayah sering kali merugikan desa kecil dan tertinggal, yang justru membutuhkan perhatian lebih besar.
Kritik lain yang muncul adalah kurangnya keberlanjutan program. Banyak pembangunan fisik yang dilakukan tanpa diimbangi dengan strategi jangka panjang. Contohnya, pembangunan sistem irigasi yang tidak diikuti dengan pelatihan pengelolaan air, atau pembangunan pasar desa tanpa program pendampingan bagi pelaku UMKM. Alih-alih memberdayakan masyarakat, pendekatan seperti ini justru menumbuhkan ketergantungan baru terhadap bantuan pemerintah.
Meski begitu, Dana Desa tetap menyimpan potensi besar jika dikelola dengan tepat. Program ini masih sangat relevan dan mampu memberikan dampak signifikan bagi pembangunan desa apabila pengelolaannya diperbaiki. Penguatan kapasitas aparat desa dalam pengelolaan anggaran dan pelaporan yang transparan menjadi langkah penting untuk meningkatkan efektivitas program. Di samping itu, pelibatan masyarakat dalam perencanaan penggunaan Dana Desa sangat krusial agar program yang dijalankan benar-benar menjawab kebutuhan mereka. Partisipasi aktif warga desa akan memperkecil risiko penyalahgunaan sekaligus memastikan bahwa setiap rupiah yang dikucurkan memberikan manfaat nyata.
Pemanfaatan teknologi digital juga dapat menjadi solusi. Aplikasi seperti Siskeudes (Sistem Keuangan Desa) dapat mempercepat pelaporan dan pengawasan penggunaan dana. Dengan teknologi ini, masyarakat bisa mengakses informasi secara transparan dan real-time, sehingga meningkatkan akuntabilitas serta meminimalisasi potensi penyimpangan.
Pada akhirnya, efektivitas Dana Desa tidak hanya diukur dari seberapa banyak infrastruktur yang dibangun, tetapi dari sejauh mana program ini mampu memberdayakan masyarakat dan mendorong pembangunan yang berkelanjutan. Dengan pengelolaan yang lebih baik, Dana Desa bisa menjadi solusi nyata dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa—bukan malah menjadi beban tambahan bagi desa dan negara.
Dalam konteks ini, penting untuk diingat bahwa Dana Desa adalah bagian dari visi besar untuk menciptakan pemerataan pembangunan di seluruh Indonesia. Jika dikelola secara optimal, program ini berpotensi menjadi katalis perubahan menuju masyarakat desa yang sejahtera dan mandiri. Dana Desa bukan semata-mata soal anggaran, melainkan bagaimana kita semua—pemerintah, perangkat desa, dan masyarakat—bersinergi agar program ini benar-benar membawa manfaat maksimal.
Jadi, apakah Dana Desa merupakan solusi atau beban bagi pembangunan desa? Jawabannya bergantung pada cara kita mengelolanya. Dengan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi aktif masyarakat, Dana Desa dapat menjadi instrumen efektif untuk mewujudkan pembangunan desa yang inklusif dan berkelanjutan.