Jumat, Juli 4

Lampung Mau Larang LGBT: Regulasi Moral atau Ketakutan Sosial?

Bandar Lampung, q-koko.site – Isu LGBT kembali jadi sorotan panas di tubuh legislatif Lampung. Fraksi PKS lewat anggotanya, Syukron Mukhtar, menggulirkan desakan pembentukan Peraturan Daerah (Perda) yang secara tegas melarang praktik dan ekspresi lesbian, gay, biseksual, dan transgender di wilayah ini. Alasannya? Meningkatnya eksistensi komunitas LGBT yang dianggap “masif dan mengkhawatirkan”.

> “Perda ini harus bersifat larangan, bukan cuma imbauan. Kita perlu melindungi generasi muda dari pengaruh yang menyimpang,” ujar Syukron dalam rapat di DPRD pada Selasa (2/7/2025).

Syukron bahkan menyebut angka: sekitar 30 grup komunitas LGBT disebut aktif di Provinsi Lampung, dengan anggota mencapai ribuan orang. Menurutnya, kehadiran figur publik yang terbuka soal identitas gender mereka di media sosial turut menyumbang legitimasi terhadap gaya hidup yang ia nilai bertentangan dengan norma.

> “Ada influencer asal Lampung yang terbuka soal identitasnya. Ini bisa jadi role model yang salah. Tidak ada agama yang membenarkan LGBT,” lanjutnya.

Komisi I Ikut Bersikap: “Butuh Dasar Hukum yang Tegas”

Anggota Komisi I, Budiman, mengamini kekhawatiran itu. Menurutnya, Lampung perlu regulasi khusus agar pemerintah daerah punya pijakan hukum yang kuat dalam menyikapi isu LGBT. Baginya, norma sosial semata tak cukup.

> “Kalau dibiarkan hanya jadi wacana, kita tak bisa bertindak. Perda bisa jadi dasar untuk mengatur bahkan memberi sanksi,” katanya, Rabu (2/7/2025).

Budiman menyoroti bagaimana konten-konten digital yang memuat ekspresi gender nonkonvensional kian menyasar anak muda—terutama remaja yang sedang mencari jati diri.

Di Antara Dua Kutub: Norma atau Kebebasan?

Dorongan lahirnya perda larangan LGBT ini kembali membuka luka lama soal benturan antara hak individu dan nilai kolektif. Di satu sisi, negara menjamin kebebasan berekspresi dan identitas. Di sisi lain, daerah merasa perlu mengatur demi menjaga “moral masyarakat”.

Namun satu hal yang sering luput: apakah semua yang berbeda selalu pantas dianggap menyimpang?

Apa yang sebenarnya dibutuhkan: regulasi, edukasi, atau ruang dialog?

Catatan Q-KOKO

Dalam sejarah, banyak hal yang dulu dianggap tabu kini bisa dibicarakan dengan kepala dingin. Tapi jalan ke sana tak pernah mudah. Hari ini, LGBT jadi sasaran. Esok mungkin isu lain. Pertanyaannya, siapa yang boleh menentukan arah “kebenaran”?

Lampung sedang menghadapi persimpangan penting: apakah akan menciptakan aturan yang membatasi ekspresi identitas, atau membuka ruang bagi diskusi yang lebih manusiawi?