
Laporan dari GREAT Lecture di Hotel Sultan, Jakarta
Jakarta, q-koko.site, 14 Agustus 2025 — Forum pemikiran kebudayaan kembali mengisi ruang publik lewat GREAT Lecture bertema “Polemik Kebudayaan Manusia Indonesia: Dunia Baru dan Kebudayaan Baru” di Golden Ballroom 2, Hotel Sultan, Jakarta.
Menteri Kebudayaan Dr. H. Fadli Zon hadir sebagai orator utama, didampingi sederet penanggap lintas disiplin: sosiolog-sastrawan Okky Madasari, Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifuddin, peneliti Hanief Adrian, pemikir Alfathri Adlin, filsuf Muhammad Misbahudin, dan pendiri Ubud Writers & Readers Festival Janet DeNeefe. Diskusi dipandu Khalid Zabidi, Direktur Komunikasi GREAT Institute.
Kritik dari Pembuka
Ketua Dewan Direktur GREAT Institute Dr. Syahganda Nainggolan mengawali dengan kritik terhadap elite negeri ini yang, menurutnya, sering abai memahami budaya di wilayah kepemimpinannya.
“Jika pembicaraan soal budaya berhenti, kita bisa kehilangan nilai keadaban itu sendiri,” ujarnya. Ia mencontohkan kasus di Pati, di mana kenaikan PBB tanpa mempertimbangkan kultur masyarakat berujung pada jatuhnya bupati.
Fadli Zon: Narasi Kebudayaan Jangan Dibungkam
Dalam orasinya, Fadli mengajak publik melakukan reinventing Indonesia’s identity — penemuan ulang jati diri bangsa.
“Budaya kita mega-diversity, bukan sekadar beragam tapi berlimpah. Tidak ada yang sekaya Indonesia, baik budaya tangible maupun intangible,” ujarnya.
Ia mencatat, dari 2.213 warisan budaya takbenda, baru 16 yang diakui UNESCO, seperti wayang, batik, keris, jamu, dan reog.
Fadli juga mengingatkan Pasal 32 Ayat 1 UUD 1945 yang menjamin kebebasan masyarakat memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budaya.
Namun ia menyayangkan narasi kebudayaan kini justru dibungkam. “Peradaban kita sudah lebih dulu global. Nusantara adalah melting pot sejak purba, bukan tujuan tapi titik keberangkatan,” tegasnya.
Okky Madasari: Tolak Narasi Tunggal
Okky Madasari menilai generasi muda Indonesia kini kosmopolitan, kreatif, sekaligus resisten.
“Mereka bukan sekadar pengguna budaya global, tapi juga penantang,” kata pengajar di National University of Singapore itu.
Menurutnya, sejarah kebudayaan selalu diawali perlawanan terhadap wacana dominan. Ia mendukung penulisan ulang sejarah Indonesia dengan syarat melibatkan publik, akademisi, dan sastrawan.
“Jangan ada pembungkaman. Jangan ada narasi tunggal,” tegasnya.
Alfathri Adlin: Pendidikan Hanya Mencetak Tukang
Pemikir Studia Humanika ITB Alfathri Adlin menyoroti sistem pendidikan nasional yang, menurutnya, masih meniru warisan Barat secara mentah.
“Pendidikan kita hanya mencetak tukang, bukan pencinta ilmu. Padahal setiap orang diciptakan dengan tujuan khusus,” ujarnya.
Hanief Adrian: Sriwijaya, Pusat Budaya Emas Dunia
Peneliti GREAT Institute Hanief Adrian mengangkat sejarah Sriwijaya yang dikenal sebagai Zabazh di Afrika.
“Zabazh memperkenalkan budaya emas ke Afrika, lalu menyebar ke Eropa dan Arab. Itu berasal dari Swarna Dwipa—Sumatra,” jelasnya. Ia menekankan pentingnya keberanian mengklaim sejarah agar tidak ditulis versi orang lain.
Ruang Dialektika yang Hilang
Diskusi ditutup tanpa tepuk tangan meriah, melainkan keheningan yang khusyuk—tanda pesan para pembicara mengendap di benak audiens.
Indonesia, kata mereka, butuh kebudayaan yang hidup, bukan sekadar artefak museum atau dekorasi festival. Butuh pemimpin yang memahami kultur, bukan sekadar struktur. Butuh ruang bagi keragaman suara, bukan pengeras narasi tunggal.
Seperti pesan Okky: “Kebenaran tidak pernah dimonopoli oleh satu suara.”
Dan di tengah kebisingan dunia baru, diskusi seperti ini menjadi oase langka untuk kembali menatap cermin sejarah—membersihkan kabut kekuasaan dan prasangka, demi menemukan kembali jati diri bangsa.( Red)