
Menanti Sikap Pimpinan Dewan Tubaba: Diam Berarti Pembiaran Etika dan Moral
Penulis : Ahmad Basri, Ketua K3PP Tubaba
Tulang Bawang Barat, q-koko.site – Di berbagai daerah, praktik penyalahgunaan wewenang oleh oknum anggota dewan bukan lagi hal baru. Kini, di Kabupaten Tulang Bawang Barat (Tubaba), publik kembali dikejutkan dengan dugaan keterlibatan oknum anggota dewan dalam “pengkondisian proyek” pembangunan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Proyek yang semestinya menjadi instrumen pembangunan demi kesejahteraan rakyat, justru ditarik ke dalam lingkar kepentingan pribadi dan kelompok politik. Jika dugaan ini benar, dampaknya sangat berbahaya. Bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga merusak pondasi etika, moral, dan kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif.
Garis Pembatas yang Hilang
Kita semua tahu, tidak sedikit anggota dewan yang berlatar belakang pengusaha atau kontraktor. Secara hukum, memang tidak ada larangan bagi politisi untuk memiliki bisnis. Namun, harus ada garis pembatas yang tegas agar tidak bersinggungan dengan proyek pemerintah, terlebih yang dibiayai APBD.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) sudah jelas melarang anggota dewan menyalahgunakan jabatan untuk keuntungan pribadi maupun kelompok. Di balik itu, terdapat pula kode etik dewan yang mengikat setiap anggota untuk menjaga integritas moral, menghindari konflik kepentingan, dan menjauhi praktik yang merusak martabat lembaga.
Dalam konteks pengadaan barang dan jasa, UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga menegaskan bahwa konflik kepentingan bisa masuk ranah tindak pidana. Artinya, seorang anggota dewan yang “mengkondisikan proyek” berpotensi terjerat gratifikasi, suap, atau penyalahgunaan kewenangan.
Pertanyaan mendasarnya: bagaimana mungkin anggota dewan yang seharusnya mengawasi jalannya proyek, justru ikut mengatur bahkan mengerjakannya?
Dari Wakil Rakyat Menjadi Makelar Proyek?
Belakangan, sejumlah media lokal di Tubaba ramai memberitakan dugaan adanya anggota dewan yang berperan sebagai “pengatur” proyek. Pola ini populer dengan istilah pengkondisian proyek, yakni memastikan proyek “jatuh” kepada kontraktor atau rekanan tertentu yang dekat dengan dirinya.
Jika praktik ini benar, maka jelas telah terjadi pergeseran peran. Dari wakil rakyat menjadi makelar proyek. Dari pengawas kebijakan menjadi penggarap APBD.
Diam Adalah Legitimasi
Dalam kondisi ini, publik menanti sikap tegas dari pimpinan dewan. Diam bukan pilihan netral—diam berarti pembiaran. Diam berarti turut melegitimasi praktik menyimpang. Diam berarti pengkhianatan terhadap etika, moral, dan sumpah jabatan.
Kini bola ada di tangan pimpinan dewan. Publik menunggu sikap, bukan alasan. Apakah pimpinan dewan akan menindak tegas anggotanya yang diduga terlibat dalam praktik “pengkondisian proyek”? Atau justru membiarkan tradisi ini hidup dan berurat akar di tubuh lembaga legislatif?.(Red)