
Budaya Lokal Tubaba: Warisan Besar yang Belum Menghidupi
Oleh: Kang WeHa
Penulis q-koko.site
Tulang Bawang Barat (Tubaba) dikenal dengan filosofi yang dalam, arsitektur megah bernuansa lokal, dan lanskap budaya yang kental. Sayangnya, di balik itu semua, ada pertanyaan yang mulai menggema: sudahkah budaya dan pariwisata lokal benar-benar memberi nafkah?
Kita punya Komplek Uluan Nughik, Masjid Baitus Shobur, Tugu Rato Nago Besanding, hingga pementasan Wayang dan Silek sebagai simbol warisan leluhur. Kita punya Pepadun dan Saibatin, dua wajah budaya Lampung yang hidup berdampingan di tanah ini. Kita punya sastra lisan, kuliner khas, dan ritus-ritus adat yang kaya makna. Namun semuanya belum menjadi kekuatan ekonomi yang nyata.
Kekuatan Budaya, Ketimpangan Realita
Tubaba bisa dibilang salah satu kabupaten yang “berani tampil beda” dari awal berdirinya. Estetikanya dibangun dari narasi budaya. Tapi apakah narasi itu sudah menjadi ekonomi?
Faktanya, belum banyak pelaku seni dan budaya lokal yang hidup dari aktivitas kebudayaan. Perajin lokal, pelaku tari, musisi tradisi, bahkan pemandu wisata kultural masih berjalan sendiri-sendiri tanpa ekosistem yang mapan. Wisatawan datang hanya sesekali. Produk lokal hanya dinikmati dalam event formal.
Lebih parah, generasi muda mulai asing dengan budaya sendiri, karena tidak melihat budaya sebagai sesuatu yang hidup, apalagi menjanjikan secara ekonomi. Akibatnya, warisan ini bisa saja berhenti di generasi kita.
Pariwisata: Potensi Besar yang Masih Tidur
Tubaba sesungguhnya punya modal luar biasa untuk dikembangkan sebagai destinasi wisata budaya dan spiritual. Konsep “kabupaten reflektif” sudah menjadi branding, tapi perlu lebih dari sekadar estetika – perlu strategi penghidupan masyarakat melalui pariwisata.
Pariwisata harus melibatkan warga. Pengelolaan tempat wisata berbasis komunitas, pelatihan UMKM lokal, dan dukungan pemasaran digital adalah kunci. Homestay, kuliner, kerajinan, dan pertunjukan budaya bisa menjadi sumber penghasilan bila dikelola bersama, bukan hanya saat festival tahunan semata.
Saatnya Transformasi: Budaya sebagai Ekonomi
Jika pemerintah serius, maka Tubaba bisa menjadi role model kabupaten budaya berbasis ekonomi rakyat. Di sinilah peran penting kolaborasi: antara dinas pariwisata, pelaku budaya, sekolah-sekolah, dan generasi muda.
Sudah waktunya membuat peta jalan pengembangan ekonomi budaya, bukan hanya mempercantik bangunan. Sudah saatnya melibatkan seniman lokal sebagai penggerak ekonomi, bukan hanya pelengkap acara. Dan yang paling penting: sudah saatnya warga sendiri merasa memiliki dan diuntungkan dari kekayaan budaya yang mereka miliki.
Tubaba punya harta yang besar, tapi belum jadi penghidupan. Jika kita bisa mengubah cara pandang – dari sekadar melestarikan menjadi menghidupkan, dari sekadar mengenang menjadi menggerakkan, maka budaya bukan hanya milik masa lalu, tetapi kunci masa depan.