
Judul: “BUMDes di Tubaba: Jangankan Untung, Modal Pun Ludes!”
Oleh: Kang WeHa
Di atas kertas, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) adalah tulang punggung ekonomi lokal. Ia menjadi simbol kemandirian desa dan sarana pemerataan pembangunan dari pinggiran. Namun di Kabupaten Tulang Bawang Barat (Tubaba), mimpi itu seolah kandas sebelum berlayar. Banyak BUMDes yang jangankan menghasilkan keuntungan, justru modalnya ludes tanpa pertanggungjawaban yang jelas.
Fenomena ini bukan hal baru. Sejumlah temuan lapangan maupun hasil pengawasan internal membuktikan bahwa mayoritas BUMDes di Tubaba berjalan tanpa perencanaan yang matang, pengelolaan profesional, serta pengawasan berkelanjutan. Akibatnya, unit usaha yang dijalankan tidak sesuai potensi desa, laporan keuangan fiktif, dan dana modal habis tanpa sisa—bahkan tidak sedikit yang tidak tahu ke mana aliran uangnya.
Ironisnya, banyak dari pengurus BUMDes adalah orang-orang yang ditunjuk secara politis, bukan berdasarkan kapasitas dan integritas. Proses musyawarah hanya formalitas, sementara keputusan strategis sering kali dipaksakan tanpa studi kelayakan. Padahal, setiap rupiah dana desa yang dialokasikan ke BUMDes adalah amanah dari rakyat dan tanggung jawab moral negara.
Lebih Gawat Lagi: Ketahanan Pangan 20% Dana Desa Kini Dititipkan ke BUMDes
Situasi ini menjadi semakin genting setelah terbitnya kebijakan pemerintah pusat yang mewajibkan minimal 20% Dana Desa dialokasikan untuk program ketahanan pangan, yang salah satu jalur pengelolaannya adalah melalui BUMDes atau HUMDes. Jika tata kelola BUMDes tetap amburadul seperti sekarang, maka bukan hanya uang yang hilang—ketahanan pangan warga desa bisa terancam gagal total.
Kebijakan mulia ini jangan sampai bernasib sama seperti modal-modal sebelumnya yang raib tanpa hasil. Perlu mekanisme pengawasan, pelatihan, dan desain program yang konkret dan realistis. BUMDes harus diarahkan bukan sekadar jadi “penyalur dana”, tetapi sebagai lembaga usaha sosial yang benar-benar punya orientasi produktif dan berkelanjutan—misalnya untuk mendukung petani lokal, membangun gudang pangan desa, hingga menciptakan akses distribusi yang efisien.
Apa Solusinya?
Audit Total dan Keterbukaan Data: Pemerintah daerah wajib melakukan audit menyeluruh terhadap seluruh BUMDes, sekaligus membuka data laporan keuangan dan kegiatan kepada publik. Transparansi adalah kunci kepercayaan.
Rekrut SDM Profesional dan Independen: BUMDes bukan lembaga politik. Pengurusnya harus melalui seleksi terbuka berbasis kompetensi dan integritas, bukan karena kedekatan dengan elite desa.
Tutup BUMDes Bermasalah, Bentuk Ulang dari Nol: Tidak ada salahnya menutup BUMDes yang sudah terlalu rusak sistemnya. Lebih baik membentuk unit usaha baru dengan tata kelola yang bersih dan sehat daripada mempertahankan bangkai yang menunggu membusuk.
Digitalisasi dan Pemantauan Real-Time: Gunakan aplikasi manajemen BUMDes yang terkoneksi langsung dengan pemerintah daerah dan masyarakat. Dengan begitu, aktivitas keuangan dapat dipantau real-time dan diawasi secara partisipatif.
Edukasi Warga dan Pemerintah Desa: Warga harus sadar bahwa BUMDes adalah milik mereka. Partisipasi aktif masyarakat akan mencegah penyalahgunaan wewenang. Pemerintah desa pun harus didorong untuk tidak mengintervensi secara sewenang-wenang.
Jika dibiarkan, BUMDes yang seharusnya menjadi “mesin uang desa” justru akan menjadi ladang korupsi mikro yang membunuh semangat kemandirian. Tubaba memiliki potensi luar biasa—baik sumber daya manusia, alam, maupun budaya. Tinggal bagaimana BUMDes bisa dikembalikan ke jalan yang benar: dikelola untuk kesejahteraan warga, bukan untuk segelintir elite.
Dan ingat, kali ini bukan sekadar soal uang modal—tapi juga soal masa depan ketahanan pangan desa. Gagal sekarang, berarti kita menjerumuskan desa ke dalam ketergantungan pangan di masa depan.