
“Konoha yang Katanya Damai”
Oelis : Kang WeHa
Di sebuah negeri bernama Konoha, orang-orang selalu bangga menyebut desanya “negeri shinobi paling damai dan makmur.”
Padahal kalau pagi hari, antrean beli tahu bulat goreng di pinggir jalan lebih ramai daripada rapat dewan ninja.
“Wah, betapa hebatnya desa kita! Kita punya Hokage yang bisa ngalahin monster berekor sembilan!” kata salah satu warga dengan bangga.
Tapi begitu ditanya, “Terus kapan jalan di gangmu diperbaiki?” jawabannya hanya,
“Eeh… tunggu Hokage sempat ya. Dia lagi sibuk bikin patung wajahnya di gunung.”
Ironis sekali, bukan?
Di Konoha, anak-anak sejak kecil sudah diajari melempar shuriken dan jutsu klon bayangan.
Tapi sayangnya, belajar matematika tetap lebih menakutkan daripada melawan Orochimaru.
Ketika guru bertanya: “3 + 5 = ?” semua murid langsung pura-pura pingsan.
Lebih lucu lagi, ada sebuah kebiasaan warga Konoha yang unik:
kalau ada musuh menyerang desa, mereka suka teriak, “Kita harus kompak!”
Tapi giliran kerja bakti bersihin selokan, tiba-tiba semua shinobi punya alasan:
ada yang latihan jurus baru, ada yang bilang lagi misi, ada juga yang tiba-tiba mengaku “lagi sakit chakra.”
Yang paling ironis, gaji para ninja.
Bayangkan, mereka bisa mempertaruhkan nyawa lawan Akatsuki, tapi bayaran misinya kadang cuma cukup buat beli ramen semangkuk.
Makanya, jangan heran kalau Naruto betah nongkrong di Ichiraku Ramen—karena dia sebenarnya masih ngutang.
Suatu hari, ada pertemuan besar di Balai Desa Konoha.
Isinya membahas kenapa anggaran ninja habis terus tiap tahun.
Setelah dicek, ternyata 40% anggaran dipakai untuk “memperbaiki gedung” yang setiap bulan entah kenapa hancur lagi.
Padahal kalau dilihat, yang bikin hancur ya ninja-ninja Konoha sendiri waktu latihan jurus di tengah kota.
Di akhir rapat, seorang warga nyeletuk,
“Kalau gitu, lebih baik kita pindah aja jadi desa pertanian. Paling banter sawah hancur, bukan gedung balai desa.”
Semua ketawa, tapi ketawanya mirip tangis.
Karena itulah, Konoha tetap terkenal: desa yang katanya damai, tapi warganya hidup penuh ironi—dengan sedikit sambal tawa.