Sabtu, September 6

Cerpen Kita : “Parade Senyum di Atas Jalan Berlubang”

Cerpen: Parade Senyum di Atas Jalan Berlubang

Penulis : Kang WeHa

Alun-alun kota ramai. Spanduk besar bertuliskan “DIRGAHAYU RI KE-80: INDONESIA MAJU, BERSIH, TRANSPARAN” berkibar gagah. Musik marching band mengiringi parade kendaraan hias.

Di tenda VIP, Pak Jabrik Sungkono, pejabat daerah, sedang menikmati hidangan sate kambing.
Pak Jabrik: “Luar biasa! Lihatlah rakyatku, semua tertawa bahagia. Inilah bukti kemerdekaan sejati!”
Stafnya, Mas Bejo Kemplu: “Betul, Pak. Padahal jalan menuju sini kayak kolam ikan lele. Tapi rakyat tetap semangat datang.”
Pak Jabrik: (tertawa terbahak) “Itulah namanya gotong royong! Kalau ban motor nyemplung lubang, yang lain ikut dorong.”

Tak jauh dari panggung, Mbak Sri Gorengan sedang diusir satpam.
Mbak Sri Gorengan: “Pak, izinkan saya jualan. Kan ini hari rakyat merdeka?”
Satpam, Bang Tole: “Merdeka ya merdeka, Bu. Tapi kalau mau merdeka sambil jualan, bayar retribusi dulu.”
Mbak Sri Gorengan: (mendesah) “Pantas saja pisang gorengku lebih laku dari janji pejabat…”

Di sisi jalan, anak-anak kecil menonton parade.
Ucup: “Wow, lihat tuh tank mainan! Indonesia pasti kuat!”
Jabrik kecil (bukan kerabat pejabat): “Iya, tapi sekolah kita atapnya bocor. Gimana mau jadi tentara?”
Pak Guru Slamet Kopling: (tersenyum pahit) “Bocor atapnya, jangan bocor semangatnya, Nak.”

Sementara itu di media sosial, tiga pemuda heboh.
Cablak: “Cepet fotoin aku, captionnya: Bangga 80 tahun merdeka!”
Inem Wi-Fi: “Eh kuotaku habis, minjem hotspot dulu.”
Peno: “Halah, merdeka dari penjajah iya… merdeka dari kuota? Belum!”

Di kantor desa, dua warga antre bansos.
Mbah Karni: “Katanya bansos cair pas HUT RI.”
Mas Tukul: “Iya, tapi kayaknya mampir dulu ke kantong orang dalam.”
Pak Carik Sastro Kenthir: (senyum lebar) “Sabar, Pak. Indonesia kan baru 80 tahun merdeka. Masih belajar jujur.”
Mbah Karni: (celetuk lirih) “Belajar mulu… kapan wisuda?”

Malam tiba. Kembang api meledak di langit. Semua menengadah.
Pak Jabrik Sungkono: “Indahnya! Inilah arti kemerdekaan.”
Tapi di jalan sepi kampung, Bang Suro Motor mendorong motornya yang mogok karena masuk lubang.
Bang Suro: “Merdeka katanya… tapi jalannya lebih merdeka dari aspal. Bebas berlubang di mana-mana.”
Anaknya, Toni Keplek, tertawa polos.
Toni: “Yang penting kita masih bisa nyanyi Indonesia Raya, Pak.”
Bang Suro: (menghela napas) “Iya, Nak. Nyanyi itu satu-satunya hal yang benar-benar gratis.”

Langit penuh kembang api. Rakyat bersorak.
Di dada mereka, ironi ikut berdentum—lebih keras daripada meriam mainan di parade tadi.