
“Pelita di Ujung Bukit”
Karya Kang WeHa
Namanya Pak Rifa’i. Usianya sudah lebih dari separuh abad. Wajahnya legam terbakar matahari, garis kerut menghiasi keningnya, namun senyum hangat tak pernah luput dari bibirnya. Ia adalah seorang pegawai negeri sipil—guru sekolah dasar yang ditempatkan di Desa Suka Jaya, sebuah kampung kecil di ujung perbukitan yang bahkan belum tersentuh sinyal telepon.
Setiap pagi, ia berjalan kaki sejauh empat kilometer dari rumah dinas yang disediakan pemerintah desa menuju SD Negeri 1 Suka Jaya. Jalannya bukan jalan biasa, melainkan setapak tanah merah yang licin jika hujan dan berdebu saat kemarau. Tak jarang ia harus menyeberangi sungai kecil dan mendaki bukit curam, tapi tak pernah sekali pun ia mengeluh.
“Saya ini hanya guru, bukan pahlawan,” katanya suatu hari kepada wartawan lokal yang datang meliput. “Tapi kalau saya tidak datang, anak-anak itu akan kehilangan harapan.”
Sekolah itu hanya memiliki tiga ruang kelas dan satu perpustakaan yang lebih banyak berisi buku usang. Murid-muridnya datang dengan sandal jepit putus, baju seragam yang sudah lusuh, tapi semangat mereka menyala setiap kali Pak Rifa’i masuk ke kelas.
Dia mengajar semua mata pelajaran, dari matematika, bahasa Indonesia, hingga menggambar dan olahraga. Kadang-kadang ia juga menjadi petugas kesehatan darurat, karena Puskesmas pembantu terdekat baru akan buka jika ada kunjungan bulanan.
Pak Rifa’i sudah bertugas di desa itu selama 17 tahun. Sebenarnya, ia bisa saja mengajukan mutasi ke kota, tapi ia tak pernah melakukannya.
“Tempat ini butuh saya,” ujarnya lirih ketika ditanya mengapa tak pindah. “Dan saya butuh mereka untuk mengerti makna hidup.”
Pernah suatu masa, saat jalan longsor memutus akses keluar-masuk desa selama dua minggu, Pak Rifa’i menjadi tumpuan semua orang. Ia membantu membagikan logistik dari helikopter bantuan, mengatur jadwal belajar darurat di balai desa, bahkan menenangkan anak-anak yang trauma karena kehilangan rumah.
Kini, tiga dari mantan muridnya telah menjadi mahasiswa. Mereka masih mengirim surat kepada Pak Rifa’i, bercerita tentang perkuliahan dan mengungkapkan rasa terima kasih.
“Aku ingin jadi guru seperti Bapak,” tulis salah satu dari mereka, “agar anak-anak desa tahu bahwa mereka juga bisa bermimpi.”
Suatu sore, setelah mengakhiri pelajaran membaca untuk kelas satu, Pak Rifa’i duduk di beranda sekolah, memandangi matahari yang perlahan turun di balik bukit. Ia menyesap kopi dari gelas kaleng, lalu menatap ke arah lapangan yang berdebu.
“Kalau suatu saat nanti aku tiada,” gumamnya pelan, “semoga yang tertinggal bukan cuma bangku-bangku reyot ini, tapi cahaya kecil dalam hati mereka.”
Note :
Cerita ini adalah fiktif, jika ada kesamaan tempat dan nama para tokoh itu hanya kebetulan saja…