
Raja O’on dan Istana Para Sengkuni
(Cerpen Satir)
Oleh : Kang Weha
Di sebuah negeri bernama Kerajaan Katapura, berdirilah istana megah dengan pilar emas berlapis janji. Di singgasana tertinggi duduk Raja O’on—raja yang tersenyum lebar setiap kali mendengar kabar rakyat sedang susah. “Kalau rakyat susah, artinya mereka butuh aku,” ujarnya sambil menyeruput teh impor dari pajak rakyat.
Raja O’on tidak pernah sendiri. Ia selalu dikelilingi Dewan Sengkuni, sekelompok penasihat berwajah licin seperti panci baru dicuci. Mereka pandai memutar kata: jika rakyat berkata, “Kami lapar,” Sengkuni melapor, “Paduka, rakyat sedang berpuasa demi kesehatan.”
Jika terdengar kabar korupsi, mereka berkata, “Itu bukan korupsi, Paduka. Hanya salah tulis laporan.”
Di Kerajaan Katapura, hukum seperti jaring laba-laba: kuat menjerat yang kecil, tapi mudah robek bila yang terjerat adalah gajah. Kitab undang-undang disimpan di lemari terkunci, dan kuncinya ada di kantong para Sengkuni. Hukum hanya dibuka bila berguna menjatuhkan lawan, dan dibengkokkan bila menyelamatkan sahabat istana.
Suatu hari, seorang petani tua, Pak Ranta, mengadu tanahnya diambil untuk proyek kerajaan. Sebelum Raja O’on bicara, salah satu Sengkuni berbisik, “Paduka, tanah itu masuk program Pembangunan Demi Kemajuan. Rakyat harus mengalah demi masa depan—dan demi kontraktor sahabat istana.”
Raja O’on tersenyum dan berkata, “Pak Ranta, Anda harus rela berkorban. Tanah itu akan jadi lapangan golf untuk pejabat, eh… taman rakyat.”
Rakyat makin menjerit. Pajak naik, harga melambung, tapi istana tetap mengumumkan bahwa ekonomi “tumbuh pesat”. Statistik diubah seperti cat tembok yang menutup retakan. Dan dalam setiap pidato, Raja O’on selalu berkata, “Hukum adalah panglima!”—meski semua tahu, panglima itu hanya menjaga tahta.
Namun, tulah itu datang.
Bukan pasukan, bukan pemberontakan, melainkan seekor tikus yang nyasar ke ruang makan istana. Tikus itu menggigit kabel listrik yang menghubungkan ruang kerja Raja O’on dengan server data kerajaan.
Server itu berisi dokumen rahasia: daftar korupsi, rekaman transaksi gelap, dan catatan proyek fiktif para Sengkuni. Dalam hitungan detik, seluruh data bocor ke publik—muncul di papan pengumuman alun-alun, di pasar, bahkan di ponsel rakyat.
Rakyat marah. Mereka datang bukan dengan senjata, melainkan bukti. Hukum, yang selama ini tidur di lemari, dipaksa bangun. Para hakim yang dulu tunduk pada istana kini terpojok di hadapan mata dunia.
Raja O’on mencoba membela diri, “Itu semua fitnah!”
Namun Sengkuni-sengkuni yang dulu setia mulai saling menyalahkan demi menyelamatkan diri. Mereka lari, tapi tetap tertangkap.
Raja O’on pun diadili di depan rakyatnya. Untuk pertama kalinya, hukum tak bisa dibeli.
Setelah itu, rakyat memilih pemimpin baru: Raja Praba, seorang guru yang sederhana dan jujur. Ia menolak istana mewah, memilih tinggal di tengah rakyat. Hukum benar-benar dijadikan panglima, dan aturan tak lagi tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Kerajaan Katapura pun berubah. Pajak digunakan untuk membangun sekolah, pasar, rumah sakit. Tidak ada lagi proyek fiktif, tidak ada laporan palsu. Semboyan baru terukir di gerbang kota:
“Keadilan bukan milik penguasa, tapi hak seluruh rakyat.”
Raja O’on dan para Sengkuni?
Mereka tinggal cerita—dan setiap kali cerita itu dibacakan, rakyat menutupnya dengan tawa lega… dan doa agar tikus kecil itu selalu diingat sebagai pahlawan tanpa mahkota.