Sabtu, September 6

CERPEN MALAM KAMIS “Kakek Segala Tahu dan Penyakit Hati”

Karya: Kang WeHa

Angin malam berhembus pelan di sudut pekarangan.
Langit sedikit mendung, suara jangkrik berdendang di sela-sela bambu yang bergoyang perlahan.
Besti duduk berselonjor di bangku kayu, membawa segelas wedang jahe hangat yang baru diseduh sendiri.
Di sebelahnya, seperti biasa… duduk sosok tua berjubah putih kusam, berjanggut panjang, dan bermata teduh: Kakek Segala Tahu.

“Kakek… kenapa ya akhir-akhir ini badan saya sering lemas, kepala pusing, tapi hasil periksa ke dokter katanya sehat?” tanya Besti, sambil menyeruput jahe.

Kakek tersenyum. Tangannya mengelus jenggot.

“Mungkin bukan tubuhmu yang sedang sakit, tapi hatimu yang sedang lelah…”

“Lho, maksudnya kek?”

“Begini, Besti… Banyak orang rajin olahraga, makan sehat, vitamin jalan terus… Tapi lupa satu hal penting: menjaga hati dari sifat buruk. Pelit, iri, gak tahu terima kasih, suka meremehkan orang lain—itu semua bukan cuma bikin hidupmu sempit… tapi bisa bikin badanmu rusak perlahan.”

Besti terdiam.

Wedang jahe di tangannya terasa lebih hangat dari biasanya.

“Kamu tahu, Besti? Orang yang hidupnya penuh rasa syukur, lebih jarang sakit. Karena otaknya tenang, jantungnya stabil, dan tubuhnya gak dicekik emosi.”

“Tapi Kek… kadang kan susah ya bersyukur itu. Apalagi kalau hidup kita ngerasa gak adil…”

Kakek tertawa pelan.

“Justru di situlah seninya. Syukur itu bukan karena semuanya sempurna… tapi karena kamu memilih melihat yang masih ada, bukan yang belum punya.”

“Lalu kalau kita sering marah, ngeluh, atau gak suka lihat orang lain sukses… itu juga bikin sakit?”

“He’eh. Kalau kamu sering begitu, badanmu akan penuh dengan racun dari pikiranmu sendiri. Lama-lama ya sakit beneran. Kadang bukan angin malam yang bikin meriang… tapi dinginnya hatimu pada sesama.”

Besti tercekat.
Kata-kata kakek seperti tamparan halus, tapi penuh kasih.

“Lalu harus mulai dari mana, kek?” bisik Besti, pelan.

“Mulailah dari hal sederhana. Belajar bilang terima kasih. Hargai keringat orang lain. Kurangi ngeluh, tambah memberi. Dan… kalau bisa, jangan pelit—karena pelit itu bukan soal dompet, tapi soal takut memberi ruang di hati.”

Besti menatap langit.
Jangkrik masih bernyanyi. Tapi malam terasa lebih damai. Lebih lapang.

“Makasih, kek…” katanya lirih.

“Nahhh… itu! Satu kata ‘terima kasih’ itu… kadang cukup buat menyembuhkan luka yang gak kelihatan.”

Besti tersenyum.
Di malam Kamis yang tenang itu, ia merasa lebih ringan. Bukan karena wedang jahe. Tapi karena hatinya mulai sembuh.