
PEMBUNUH MISTERIUS
Oleh: Kang WeHa
Hujan mengguyur Kota Bandung malam itu, membasahi trotoar, menyamarkan jejak, dan menelan suara. Di dalam sebuah rumah bergaya kolonial tua di kawasan Cihapit, polisi menemukan mayat seorang pengusaha properti, Andra Wibisana, tergantung di langit-langit ruang tamu.
Yang membuat kasus ini janggal bukan cuma posisi jasadnya. Tapi juga fakta bahwa tali yang menggantungnya terikat dari dalam, dan pintu rumah terkunci dari dalam. Tak ada tanda perlawanan. Tak ada jejak masuk. Hanya… secarik kertas kecil bertuliskan:
“Yang menyembunyikan kebenaran, akan tergantung oleh rahasia mereka sendiri.”
“Panggil Dona.”
Perintah singkat itu keluar dari mulut Komisaris Bayu sambil menatap mayat Andra tanpa ekspresi. Seorang perwira di sebelahnya mengernyit.
“Dona? Maksudnya… Kapten Dona mantan Kopassus itu?”
Bayu hanya mengangguk.
“Ini bukan kasus biasa. Kita butuh seseorang yang bisa membaca teka-teki maut dengan kepala dingin dan insting tempur. Dia satu-satunya.”
Babak 1: Jejak yang Tak Tampak
Dona tiba keesokan paginya, mengenakan jaket kulit cokelat, celana hitam taktis, dan sepatu boots yang masih meninggalkan bekas lumpur. Matanya tajam, sikapnya tenang, dan suara langkahnya membawa aura otoritas seperti seorang prajurit yang belum pensiun dari perang.
Dia menatap ruangan TKP. Pandangannya menyapu setiap sudut — plafon, jendela, karpet, bingkai foto, bahkan setumpuk surat yang belum dibuka.
“Mayat tergantung. Tak ada jejak masuk. Pintu terkunci dari dalam. Ini bukan bunuh diri,” ucap Dona dingin.
“Ini pembunuhan yang dibuat tampak seperti bunuh diri… oleh seseorang yang tahu cara bekerja dalam bayangan.”
Satu demi satu, Dona mengorek kehidupan korban:
Andra ternyata baru saja menang tender besar properti di Lembang.
Seorang mantan rekan bisnisnya meninggal setahun lalu… juga dalam kondisi tak wajar.
Dan setiap korban… meninggalkan catatan kecil dengan kutipan yang mirip.
Dona mencium pola. Tapi bukan hanya pola pembunuhan. Ini adalah pesan.
Seseorang sedang mengirimkan sinyal. Seseorang sedang… memburu mereka yang punya masa lalu kelam.
Malam itu, Dona duduk di ruang apartemennya, menatap papan analisa berisi foto-foto, catatan, dan benang merah. Tiba-tiba ponselnya bergetar.
Satu pesan masuk tanpa nama pengirim:
“Selamat datang di permainan, Dona. Kau selanjutnya jika menyentuh kebenaran.”
Kepalanya menunduk. Tapi bukan karena takut.
Dia hanya tersenyum tipis dan berbisik,
“Bagus. Permainan dimulai.”
Babak 2: Jejak dalam Kegelapan
Dona duduk di dalam mobilnya yang diparkir menghadap bukit Dago, matanya menatap lampu kota Bandung yang berkedip seperti bintang jatuh. Dia mengingat setiap detail kasus: gaya bunuh diri yang mustahil, catatan ancaman, dan pola yang terlalu rapi.
Di jok sebelahnya, sebuah berkas tebal terbuka — laporan lama dari unit Kopassus.
Nama yang muncul berulang-ulang: “Operasi Malam Hitam – 2012.”
Tiga nama korban memiliki keterkaitan.
Mereka dulunya adalah pemodal rahasia dari operasi ilegal yang pernah digagas oleh pihak swasta dengan bantuan tentara bayangan. Dan satu-satunya penyintas dari operasi itu…
Adalah Dona.
“Ini bukan soal balas dendam biasa. Ini… pengadilan bayangan.” gumamnya pelan.
Dona melacak titik berikutnya — rumah mantan perwira intelijen, Mayor Sukma, yang kini tinggal di vila terpencil dekat Ciwidey. Saat tiba, suasana sunyi. Angin dingin menusuk. Pintu vila terbuka… dan tubuh Sukma tergeletak di kursi rotan.
Mati. Tapi berbeda. Kali ini… korban sempat melawan.
Dinding dipenuhi coretan darah:
“Dia melihat dari cermin. Dan membunuh tanpa suara.”
Dona menarik napas panjang. Tangannya bergerak ke dompet kecil, mengeluarkan pecahan kaca kecil yang dia simpan sejak lama — bukti dari satu-satunya cermin yang pecah saat operasi 2012.
“Dia masih hidup…” bisiknya. “Dan dia menyalahkanku.”
Babak 3: Musuh dalam Bayangan
Malam itu, Dona dijebak.
Seseorang mengirim undangan palsu untuk rapat di markas polisi, tapi gedungnya kosong. Saat dia masuk, listrik padam.
Langkah kaki menggema.
Lalu suara berat muncul dari balik kegelapan.
“Kau tahu kenapa aku membunuh mereka? Karena mereka semua bersembunyi di balikmu, Dona.”
Tiba-tiba lampu menyala — dan di depannya berdiri pria tinggi berpakaian gelap, wajah penuh luka. Letnan Raka, rekan lamanya yang dikira tewas dalam operasi 2012.
“Aku disiksa, dikubur hidup-hidup. Tapi mereka semua pergi, termasuk kau!”
Dona menahan amarah.
“Waktu itu aku juga terluka. Aku mencarimu berbulan-bulan. Tapi kau hilang… dan sekarang kau membunuh?”
“Aku menegakkan keadilan,” teriak Raka.
“Aku membunuh monster, dan terakhir… aku akan membunuh kau, yang membiarkan mereka lolos.”
Raka mengangkat pistol.
Babak 4: Kebenaran dan Peluru
Tapi Dona sudah siap. Dalam sekejap, ia lempar pisau lipat kecil ke tangan Raka. Pistol terjatuh. Mereka bertarung sengit, dua mantan Kopassus dalam duel diam mematikan.
Raka hampir menang — tangannya melingkar di leher Dona. Tapi Dona mengaktifkan mode penyamaran jam tangan taktisnya — mengeluarkan suara ultrasonik yang memecah konsentrasi lawan.
Dengan satu gerakan memutar, Dona membalikkan badan dan membekuk Raka. Pistolnya mengarah ke kepala pria itu.
“Kau bukan hakim. Kau korban yang berubah jadi algojo. Tapi aku bukan musuhmu, Rak.”
Air mata jatuh di mata Raka.
Untuk pertama kalinya… dia tampak manusiawi.
Epilog: Cahaya di Ujung Senapan
Dona menyerahkan Raka ke pihak berwenang. Persidangan akan panjang. Tapi kasusnya membuka kembali arsip gelap yang sudah dikubur pemerintah dan para investor ilegal. Media menyebut Dona sebagai “Bayangan yang Melindungi Keadilan.”
Di atas bukit Dago, pagi itu cerah. Dona berdiri diam menatap matahari terbit.
Ponselnya bergetar. Pesan masuk:
“Masih banyak yang harus dibersihkan. Siap untuk misi berikutnya, Kapten?”
Dona tersenyum.
“Selalu.”
Tamat.