Jumat, Juli 4

CERPEN “Harapan di Ladang yang Terlupakan”

Puisi Karya Kang weha

Cerpen, Q-koko.site – “Harapan di Ladang yang Terlupakan”

Pak Seno duduk di bangku kayu reyot di teras rumahnya, menatap hamparan ladang jagung yang dulu hijau subur, kini mulai menguning kering dan retak-retak. Tangan keriputnya mengusap peluh yang menetes di dahi, sementara suara burung malam mulai mengisi udara desa yang sunyi.

Di sampingnya, Sari, istrinya, sedang menenun di atas kursi anyaman, sesekali melirik ke suaminya. “Pak, aku dengar di televisi mereka bilang ada program subsidi pupuk dan bantuan alat pertanian. Kata mereka, tahun ini semua petani akan lebih sejahtera,” ujarnya pelan.

Pak Seno menghela napas panjang, “Itu janji lama, Bu. Janji yang kadang datang seperti angin lalu, dan hilang tak berbekas.” Matanya menatap jauh ke jalan desa yang berlubang dan tak kunjung diperbaiki. “Mereka bilang pembangunan, tapi jalan ini sudah berlubang bertahun-tahun. Bagaimana kita mau bawa hasil panen kalau jalannya jelek?”

Sari menunduk, tangannya berhenti menenun. “Tapi kita harus tetap percaya, Sen. Mungkin tahun ini beda. Mungkin mereka benar-benar peduli.”

Malam itu, mereka berbicara panjang tentang masa depan ladang dan kehidupan mereka. Pak Seno bercerita tentang waktu muda, ketika ia bisa panen melimpah dan anak-anak bisa sekolah dengan mudah. “Dulu, kami merasa ada harapan. Tapi kini, aku lihat pejabat datang hanya untuk foto-foto, bawa janji yang sama tiap tahun.”

Keesokan harinya, seperti dugaan Pak Seno, datanglah rombongan pejabat lengkap dengan kamera dan tim media. Mereka turun dari mobil mewah, mengenakan jas rapi dan senyum yang sudah terlatih. Kepala desa dengan penuh semangat menyambut mereka, berharap akan ada bantuan nyata.

Pejabat itu berpidato tentang “revolusi pertanian”, “kesejahteraan rakyat”, dan “pembangunan berkelanjutan.” Tapi saat ditanya soal jalan yang rusak dan pupuk yang susah didapat, jawabannya selalu berputar-putar: “Ini sedang dalam proses… Akan segera diperbaiki… Mohon bersabar…”

Pak Seno berdiri di kerumunan, menatap wajah-wajah yang penuh basa-basi. “Revolusi pertanian? Yang kami lihat cuma revolusi janji-janji,” gumamnya lirih ke Sari.

Sari menggenggam tangan suaminya erat, “Kita ini petani, bukan politikus. Kita hanya ingin kerja keras kita dihargai, bukan dikecewakan.”

Musim panen pun tiba. Jagung yang dipanen tak seberapa, karena kekurangan pupuk dan tanah yang mulai tandus. Harga jagung di pasar juga anjlok, sementara biaya hidup terus naik. Pak Seno dan Sari duduk bersama di malam hari, merasa lelah tapi tak kehilangan harapan.

“Aku mungkin bukan pejabat, Bu,” kata Pak Seno sambil menatap bintang, “Tapi aku tahu, selama kita punya tanah ini dan kerja keras, kita masih bisa bertahan. Janji boleh datang dan pergi, tapi tanah ini… ini milik kita.”

Sari tersenyum, “Kalau begitu, kita harus rawat tanah ini seperti kita merawat harapan kita, Sen. Meski sulit, kita jangan menyerah.”

Desa itu tetap sepi dari janji-janji baru, tapi di hati Pak Seno dan Sari, ada api kecil yang tak padam. Api yang memberi mereka kekuatan untuk terus menanam, berharap, dan percaya suatu saat keadilan dan perubahan nyata akan datang.