
Q-Koko.site | JAKARTA, 17 Mei 2025
Indonesia menempati peringkat pertama sebagai negara dengan tingkat pengangguran tertinggi di kawasan ASEAN. Berdasarkan laporan IMF, World Economic Outlook edisi April 2024, tingkat pengangguran Indonesia tercatat sebesar 5,2%, mengungguli Filipina (5,1%), Malaysia (3,5%), Vietnam (2,1%), Singapura (1,9%), dan Thailand (1,1%).
Data tersebut menjadi peringatan serius di tengah upaya Indonesia memanfaatkan bonus demografi dan menuju cita-cita Indonesia Emas 2045.
Apa yang Sebenarnya Terjadi?
Meski memiliki kekuatan demografi yang besar, Indonesia masih menghadapi tantangan struktural serius di sektor ketenagakerjaan. Di antaranya:
Terbatasnya lapangan kerja berkualitas
Ketidaksesuaian antara keterampilan lulusan dengan kebutuhan industri
Minimnya akses pelatihan keterampilan berbasis lokal
Kurangnya keberpihakan terhadap sektor informal dan akar rumput
Suara dari Daerah
Junaidi Farhan Ketua Umum Forum Mermbangun Desa ( Formades ), menyampaikan bahwa angka ini merupakan “alarm keras” bagi semua pihak, termasuk pemerintah dan lembaga pendidikan.
“Indonesia punya potensi luar biasa, tapi kalau tidak dikelola dengan baik, tingginya pengangguran ini bisa menjadi bom waktu,” ujar Farhan.
Kemudian Junaidi Farhan, aktivis sosial dan Ketua Formades, menyoroti pola pikir masyarakat yang masih pasif.
“Problem ini akan sulit teratasi apabila tidak ada keberanian mengubah mindset masyarakat Indonesia yang cenderung menunggu dan menerima. Harus diubah menjadi mencipta dan memberi,” tegasnya.
Menurut Junaidi, saatnya anak muda berani tampil sebagai entrepreneur—pencipta lapangan kerja, bukan sekadar pencari kerja.
Langkah Solusi: Dari Pusat Sampai Desa
Pakar dan aktivis menyarankan sejumlah solusi konkret:
Revitalisasi pendidikan vokasi dan pelatihan kerja berbasis kebutuhan daerah
Penguatan UMKM dan ekonomi kreatif lokal
Pemberdayaan BUMDes sebagai motor ekonomi desa
Pembukaan akses permodalan bagi pemuda dan perempuan
Kolaborasi lintas sektor: pemerintah, swasta, ormas, dan pendidikan
Kesimpulan: Jangan Bangga Jadi Nomor 1
Tingginya angka pengangguran bukan sekadar statistik, tapi cermin krisis struktural yang harus ditangani bersama. Ini saatnya mendorong ekosistem kerja yang inklusif, kreatif, dan pro-rakyat.
“Saatnya bergerak. Dari pusat sampai desa, dari komunitas sampai keluarga. Jangan biarkan generasi kita kehilangan harapan di tengah krisis lapangan kerja,” pungkas Farhan.
{Rilis ini didukung oleh Q-Koko.site sebagai bagian dari upaya advokasi sosial dan literasi kebijakan publik}.